Kamis, 15 Januari 2009

Kesalahan Terori Evolusi Darwin

Pada sebuah rumah yang tak terlalu mewah, tinggallah di sana sebuah keluarga kecil. Ayah, Ibu dan seorang anak namanya Barjo. Keluarga ini cukup harmonis dalam menjalani kehidupannya. Ayah adalah seorang tenaga pengajar fakultas filsafat pada sebuah perguruan tinggi. Ibu hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa yang sesekali juga memiliki jadwal untuk mengisi kuliah luar biasa di beberapa kampus. Namun Barjo, anak mereka yang masih berusia 10 tahun ini justru betul-betul di jauhkan dari bangku sekolah. Alasannya, karena mereka takut jika nanti ia disekolahkan justru akan menghambat daya kreatifitas Barjo. Mereka beranggapan, bangku sekolah tak ubahnya bangku pesakitan yang akan mengubah dunia kreatifitas Barjo menjadi mandul serta hanya akan terdoktrinasi oleh pendiktean. Untuk alasan itulah mereka membiarkan Barjo tumbuh secara alami. Mendewasakan dirinya sendiri dengan bekal pengetahuan yang kadang sulit untuk dimengerti seperti pada sebuah percakapan malam antara Barjo dengan ayah tercintanya ini menjelang tidur.

Kali ini percakapan dimulai dari lontaran pertanyaan Barjo. Dia bilang, "Yah, kenapa banyak orang menganggap teori evolusi Darwin itu salah?"

Sang ayah tersenyum geli mendengar pertanyaan itu.

Barjo kecilpun bingung dengan sikap ayahnya ini. Tatapan matanya yang polos sepertinya tengah menangkap sebuah sinyal kejanggalan pada senyum ayahnya. Tanpa ba-bi-bu Barjo pun kembali bertanya. "Kenapa ayah tersenyum saja?"

Senyum sang ayah semakin melebar saja.

"Apa Barjo salah menanyakan itu?" tanya Barjo lagi.

Sang ayah diam kemudian. Lalu sedikit menata nafas dan menata rangkaian gerbong kalimat yang akan diluncurkannya dalam ungkapan yang tentu akan mudah dimaklumi oleh Barjo. "Sebenarnya teori Darwin itu tidak salah tapi keliru."

"Maksudnya, Yah?" kali ini Barjo bersemangat untuk menanti penjelasan sang ayah.

"Maksud Ayah, teori Darwin itu tidak sepenuhnya salah. Kenapa? Karena teori Darwin ini bahkan justru melampaui pemikiran orang-orang sezamannya. Coba lihat sekarang, setelah banyak orang menganggap dirinya bukan hasil evolusi ala Darwin ini ternyata banyak orang yang bertingkah polah bahkan lebih gila dari seekor kera. Di televisi, di majalah-majalah bahkan di koran maupun di kampung kita ini, banyak juga orang yang tidak sadar kalau sikap mereka ini lebih gila dari seekor kera. Lagian mana ada kera mau korupsi?"

Barjo pun mengangguk.

"Kenapa? Karena ternyata Darwin belum melengkapi teorinya dengan memandang aspek sosiologi dan antropologinya. Jadi, ya banyak pula orang yang protes dengan teori evolusi Darwin ini." jelas sang ayah.

Democrac[z]y

Beberapa waktu lalu, saya sempatkan diri saya untuk menyambangi teman lama saya yang sudah lama tidak pernah saya sambangi. Tentu, lamanya waktu yang telah memisahkan kami ini benar-benar membuat kami tersegarkan kembali dengan secangkir kopi yang disegarkan pula oleh obrolan kami yang hanya 'ngalor-ngidul'. Banyak pula lelucon yang sengaja kami buat sekadar untuk mencairkan pikiran kami yang tersublimasi oleh kesibukan kami selama ini. Kali ini, teman sayalah yang memulainya.

"Kang, saya ingin tahu kenapa sekarang ini banyak orang pada ngributin soal demokrasi? Banyak bendera partai pula yang menyimbolkan demokrasi, banyak pula organisasi yang kemudian mengaku didasari demokrasi. Nah, sebenarnya kenapa kok segitunya?" tanya teman saya.

"Lah sampeyan itu ya lucu. Masa hal kayak gitu ditanyain. Kan sudah jelas, kalau nggak ribut-ribut itu namanya nggak demokrasi. Wong negara ini kan dari dulu memaknai demokrasi itu dengan keributan kok." Seloroh saya.

"Nah, soalnya ya itu Kang. Dengan adanya keributan macam itu, lalu bagaimana semua masalah itu bisa selesai?" tukasnya.

Jawab saya, "Lho, sampeyan ini ya lucu lagi. Lah yang namanya keributan itu nggak usah diselesaikan kan juga selesai sendiri. Kalau sudah pada capek kan semua jadi tenang kembali. Nah, itu yang diingini penguasa kita. Menyelesaikan masalah tanpa harus menghadapi masalah."

"Lantas bagaimana dengan perkara hukumnya kalau ada sesuatu yang tidak beres dalam keributan itu Kang?"

"Hukum? Kan sudah jelas, dasar hukum kita adalah demokrasi. Artinya semua dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya lagi, rakyat tidak bisa dong nuntut penguasanya sendiri. Lah wong penguasanya juga rakyat kok. Kalau pada kenyataannya ada presiden itu kan segelintir rakyat. Lagi pula kan yang milih rakyat. Masa jeruk makan jeruk?" seloroh saya.

"Maksud sampeyan?"

"Loh, demokrasi itu kan akal-akalannya penguasa saja biar tidak terlalu dipersalahkan dalam kepemimpinannya. Saya jelaskan kembali, kalau konsep demokrasi itu adalah pemerintahan yang didasari oleh jargon semua dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, maka jelas apapun yang dilakukan oleh penguasa tidak bisa disalahkan, karena mereka ini selalu mencari tameng hidup yang bernama rakyat. Mereka itu kan juga rakyat, berhak nuntut untuk tidak disalahkan, ya kan? Jadi, kalau mereka ngomong soal demokrasi, itu sama saja mereka ngomong soal kebutuhan mereka sendiri bukan karena rakyat yang minta. Lah lihat saja DPR-nya pada bikin ulah gitu." kata saya.

"Jadi pada prinsipnya di negara sedemokrasi apapun itu, sebenarnya tidak ada demokrasi ya Kang?"

"Lah iya toh? Lihat saja Amerika yang katanya pencetus demokrasi. Dengan mengembargo dan main sikat negara-negara lawannya itu atas kepentingan siapa? Rakyatnya? Bukan...itu akal bulusnya presidennya saja yang pingin dikenal sebagai pencetus perang dunia."

"Lah kalau di Indonesia, Kang?"

Saya hanya tertawa sambil kentut. 'Duuuuuut..........!' Sungguh panjangnya itu suara kentut. Sepanjang saya harus menjelaskan Indonesia dengan demokrasinya.

Alhamdulillah, Akhirnya Pulang Kampung

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Setelah kira-kira 8 tahun merantaukan diri ke kota lain, akhirnya saya pulang kembali ke kampung kelahiran saya, Pekalongan. Dulu saya sempat takut untuk pulang kampung karena dalam benak saya selalu dihantui ketakutan saya untuk membentuk masa depan saya. Pikiran itu benar-benar telah mengganggu saya selama bertahun-tahun. Hingga pada akhirnya saya hanya bisa mendamparkan dan menelantarkan diri saya pada sebuah bentuk kehidupan yang sebenarnya asing bagi saya. Namun demi sebuah pemertahanan saya pun tetap harus hidup dan memberi makna hidup itu sendiri.

Lantas, kini setelah saya mulai yakin dengan keputusan saya untuk pulang kampung saya pun mulai menata kembali kehidupan saya dengan keluarga kecil yang baru saja saya bangun. Terus terang, saya ingin lebih dapat merangkul seluruh keluarga yang saya miliki itu saja.

Beberapa waktu lalu teman-teman dekat saya sempat bertanya. Kenapa saya pindah ke kota kecil sekecil Pekalongan? Semula saya tidak memiliki jawaban apa-apa. Dalam hati saya hanya berkata, karena di kota kecillah kita akan dibesarkan. Dan ketika kita berada di kota besar, maka sebenarnya semakin kerdillah pemikiran kita untuk dapat mengembangkan diri.

Ah, yang penting saat ini bagi saya adalah saya bisa pulang kampung. Selamat tinggal kota Semarang. Selamat tinggal kenangan baik manis maupun pahitnya sekalipun.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Salam,

Ribut Achwandi

Senin, 25 Agustus 2008

Kangen Tujuhbelasan di Kampung

Tanggal 17 Agustus, tentu saat yang membuat saya menunggu-nunggu untuk segera tahu ada kabar apa di kampung halaman saya. Saya tunggu beberapa telepon dari teman-teman saya, barang kali ada kabar menarik dari kota kelahiran saya ini mengenai kemeriahan tujuhbelasan tahun ini. Tak juga ada satu pun telepon nyasar ke Hp saya. Tentu saya tambah penasaran. Dag dig dug dan sungguh tidak menentu jadinya.

Sebab biasanya, di kampung saya, setiap tanggal 17 Agustus tiba, selalu diramaikan dengan segudang aktivitas masyarakat yang sangat luar biasa. Kalau di kampung-kampung di kota lain saya yakin apa yang dinamakan aneka ragam lomba pasti ada. Tapi saya yakin yang satu ini tidak ada di kampung-kampung kota lain di Indonesia ini. Pasar Jajan.

Ya, inilah salah satu momen yang saya tunggu-tunggu. Bukan karena melimpahnya jajanan atau panganan yang disajikan. Tapi lebih dari itu, adalah keakraban antar warga yang sangat tidak lazim. Benar-benar setiap peringatan hari kemerdekaan Indonesia ini, pasar jajan galibnya seperti sebuah pesta atau resepsi pengantin yang luar biasa. Bagaimana tidak, setiap rumah tiba-tiba disulap menjadi seperti kedai-kedai makanan yang menawarkan aneka macam menu. Gratis! Siapa yang datang akan disambut dengan hangat oleh sang empunya rumah tanpa harus mengenal satu sama lain. Jika Anda benar-benar warga Indonesia, boleh saja datang dan mampir sejenak untuk sekadar mencicipi menu yang mereka tawarkan pada Anda. Memang, mungkin ada beberapa menu yang mungkin tidak cocok pada lidah Anda sebab menu-menu ini umumnya merupakan masakan lokal.

Sembari ngobrol ngalor-ngidul tentang apa saja, Anda boleh jadikan tempat Anda mampir ini sebagai tempat beristirahat sejenak. Sebab masih ada banyak deretan rumah-rumah kampung yang akan menyambut lidah Anda.

"Mangga mas, mbak mampir." begitulah sapa mereka yang empunya rumah. Anda tidak perlu berbasa-basi untuk duduk di tempat-tempat duduk yang telah disediakan warga kampung saya ini.

Di tengah-tengah aktivitas yang padat itu pun beberapa lomba digelar di sana. Hal ini tentu menjadi hiburan yang menarik bagi kita yang tengah menyantap semua hidangan yang ada. Sesekali boleh pula Anda ikut bermain dalam lomba. Sebab tak ada batasan siapa pesertanya. Dan yang jelas, biasanya kegiatan semacam ini akan berlangsung secara bergiliran dari kampung satu ke kampung lainnya dalam kurun waktu yang cukup lama, yaitu hingga menjelang berakhirnya bulan Agustus. Luar biasa!

Saya kira inilah semangat kemerdekaan negeri kita ini. Kebersamaan. Sama-sama merasakan apa yang dihidangkan oleh siapa saja. Sama-sama merasakan kegembiraan yang disulut oleh kemeriahan tawa dan segudang gurauan yang bahkan liar sekalipun. Tak ada batas siapa Anda siapa mereka dan siapa saya. Semua sama. Bahkan seorang pejabat sekalipun tak perlu sungkan untuk duduk di atas tikar yang sempit sekalipun dengan sedikit berdesakan.

Tapi, baru kemarin saya pulang ke kampung saya ternyata tradisi ini mulai punah. Dan memang hal ini bahkan sudah mulai diwacanakan oleh pemerintah setempat untuk segera dihilangkan dengan alasan ini adalah kegiatan pemborosan. Mengingat selama ini banyak pula masyarakat yang mulai tertekan dengan kondisi ekonomi yang semakin semrawut.

Terus terang saya agak kecil hati. Namun apa boleh buat, alasan itu memang benar adanya. Tapi saya kembali menggugat. Kalau memang masyarakat saat ini tengah terpuruk, sebenarnya kenapa? Haruskah kebijakan pemerintah yang semakin ngawur dalam hal menerapkan sistem perekonomian yang semakin kacau ini harus mengorbankan keceriaan masyarakat? Memang merdeka tidak harus dihadiahi dengan kegembiraan, tapi harus disadari pula bahwa tradisi ini sudah membumi. Dan kalau memang masyarakat menderita saat ini, siapa yang patut dipersalahkan? Pemerintah? Tentu bukan mereka yang salah sebab mereka selalu mengelak untuk dipersalahkan. Tetapi dalam pikiran saya adalah karena sikap mereka yang kurang dapat memerdekakan negeri ini. Memerdekakan pikiran mereka untuk dapat lebih kreatif dalam menghasilkan kebijakan yang memihak pada rakyat bukan pada segelintir rakyat yang memiliki modal. Inilah makna kemerdekaan saat ini.

Merdeka adalah buat mereka yang memiliki kekuasaan. Merdeka adalah bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk memainkan pena dalam menandatangani setiap perjanjian bisnis untuk menjual harga diri negara. Merdeka adalah bagi mereka yang hanya sibuk mengurusi bagaimana cara lepas dari jerat penjara akibat korupsi. Atau merdeka adalah bagi mereka yang tengah sibuk membetulkan posisi pantat mereka di atas kursi kekuasaan.

Ah, sayang kali ini saya harus membawa kabar yang tidak sama sekali menyenangkan ketika pulang kampung. Tapi saya tetap salut, beberapa dari warga kampung saya ini masih kukuh untuk melakukan tradisi pasar jajan itu. Semoga semangat kekeluargaan mereka ini tidak luntur kalaupun dapat, goyahkan pula kekuasaan penguasa dengan semangat itu. Saya yakin, mereka tidak akan banyak berbuat apa-apa kalau rakyat yang meminta.

Salam,

Selasa, 05 Agustus 2008

Pekalongan, Pada Suatu Masa

Suatu ketika, saya sempatkan diri untuk mampir kembali ke kota kelahiran yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari kota Semarang yang kini menjadi tempat tinggalku. Kira-kira 100 Km. Ketika itu saya sempatkan diri pula untuk menemui beberapa tokoh penting di kota Batik itu. Sebut saja Bapak Aswantary dan Bapak Abdul Kadir yang lebih sering dikenal sebagai RIDAKA. Dari mereka inilah saya menemukan sebuah pengalaman menarik dan pengetahuan yang sebelumnya tidak saya kenal. Tentang peristiwa besar dalam sejarah kota Pekalongan, perang 3 Oktober 1945 yang menjadi puncak dari pertempuran 3 daerah. Kebetulan dua tokoh ini menjadi saksi hidup pertempuran hebat itu. Mereka menceritakan sedemikian detilnya, sampai-sampai tidak terasa titik air mata mereka pun leleh. Mencair dan kemudian menganak sungai di kedua sisi pipinya yang keriput. Dari awal hingga akhir dari pertempuran itu benar-benar runtut mereka ceritakan. Saya pun tentu sangat amat tertarik dengan hal ini. Karena, ini tidak pernah saya dapatkan dalam buku-buku sejarah pada waktu sekolah dulu. Dan sebenarnya saya mulai mengetahui hal itu ketika saya dapatkan sebuah buku yang berjudul 'One Struggle, One Soul' karya seorang penulis berkebangsaan Austria. Dari sanalah saya mulai berpenasaran. Kemudian saya mulai menelusuri kembali sejarah kota kelahiran saya ini. Tak cukup hanya itu, saya pun berusaha untuk menemui Walikota saat itu dijabat oleh Samsudiat. Tapi sayang usaha saya gagal di tengah jalan. Saya hanya diperkenankan bertemu dengan bagian Humas Pemkot Pekalongan dan tanpa ba-bi-bu mereka hanya menyodorkan sebuah kutipan pidato resmi walikota tentang peringatan 3 Oktober yang saya kira tidak terlalu penting itu serta beberapa tulisan di dalam tabloid terbitan Pemkot yang hanya menyoroti ihwal peringatan 3 Oktober itu.

Tak berhenti di situ, saya lantas mencoba menelusuri sampai ke kantor arsip daerah kota Pekalongan. Mencoba mencari bukti-bukti otentik yang mungkin bisa saya gunakan sebagai bahan informasi saya. Tapi, kenyataannya tetap saja nihil. Ketika saya tanyakan pada petugas tentang arsip daerah mengenai bangunan bekas Markas Kempetai yang kini berubah fungsi menjadi Masjid Syuhada itu, mereka mengatakan tidak memiliki arsip tentang itu. Saya pun terpaksa harus kembali lagi kepada dua tokoh itu dan menanyakan hal serupa. Dan yang paling mengagetkan dari jawaban Bapak Aswantary ini, dia mengungkapkan bahwa ada sebuah kosnpirasi yang tengah dimainkan kekuasaan pada waktu itu untuk dengan sengaja menghilangkan jejak sejarah Pekalongan.

Dia menceritakan, berubahnya fungsi bangunan itu merupakan sebuah upaya Pemkot Pekalongan untuk mengubah kawasan itu sebagai kawasan bisnis yang dipelopori sebuah bank swasta. Kalaupun dibangunkan sebuah masjid yang megah di sana, katanya, hanya sebagai upaya pengelabuhan terhadap konspirasi yang dijalankan oleh Pemkot Pekalongan. Sehingga jangan heran jika kaum muda di Pekalongan tidak kenal dengan sejarah kotanya.

Saya pun terus mengorek segala informasi dari Beliau ini. Saya tanyakan kenapa konspirasi itu terus-menerus diupayakan? Dan, lebih menyakitkan lagi, hal ini terkait dengan pembongkaran bangunan bersejarah monumen penurunan bendera Jepang yang dulu berada tepat di menara masjid itu yang kini berbentuk bambu runcing. Katanya, ini karena adanya konspirasi politik yang sangat besar pengaruhnya dalam kancah nasional. Penghancuran patung monumen tersebut, didasarkan alasan yang sangat tidak masuk akal yakni hanya karena pematung yang telah membuat replika penurunan bendera tersebut adalah orang-orang Lekra. Oh, celakalah kalau memang demikian. Gumam saya dalam hati.

Dan pantas saja, ketika saya tanyakan pada beberapa warga di Pekalongan, hanya berapa gelintir dari mereka yang benar-benar mengetahui peristiwa 3 Oktober 1945. Oh, kotaku sayang, malang betul sejarahmu....Terlupakan begitu saja.

Rabu, 28 Mei 2008

Kangen

Sebenarnya aku ingin berlama-lama mampir di kota kelahiran. Tapi lagi-lagi, selalu aku memiliki alasan sama seperti saat-saat lalu ketika aku harus bersegera meninggalkannya. Pekerjaan. Belum cukup puas rasanya aku meletakkan pantatku di atas tikar, sebuah warung makan di bilangan Pasar Kedungwuni yang sangat eksotis dengan suguhan nasi megono-nya. Menyeruput secangkir kopi tahlil yang begitu nikmat. Berkeliling dengan sepeda onthel menelusuri rumah-rumah tua di kampung Buaran. Nongkrong di alun-alun yang kini mulai dijejali bangunan baru. Berfoto di depan eks-rumah dinas residen. Menikmati hembus angin segar di Pantai Pasir Kencana yang entah kini bagaimana nasibnya. Yang jelas, kerinduanku terkadang sampai membuatku tak sanggup untuk melakukan apapun. Seperti saat ini.

Pekalongan, bagaimana kabarmu malam ini? Ah, sial. Aku tak tahu nomor HP-mu. Lupa aku catat kemarin waktu aku pulang. Katanya kau punya HP baru di sana. Siapa kasih?

Ah, aku bukan sedang berpuisi. Aku kangen.....Pekalongan.