Selasa, 05 Agustus 2008

Pekalongan, Pada Suatu Masa

Suatu ketika, saya sempatkan diri untuk mampir kembali ke kota kelahiran yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari kota Semarang yang kini menjadi tempat tinggalku. Kira-kira 100 Km. Ketika itu saya sempatkan diri pula untuk menemui beberapa tokoh penting di kota Batik itu. Sebut saja Bapak Aswantary dan Bapak Abdul Kadir yang lebih sering dikenal sebagai RIDAKA. Dari mereka inilah saya menemukan sebuah pengalaman menarik dan pengetahuan yang sebelumnya tidak saya kenal. Tentang peristiwa besar dalam sejarah kota Pekalongan, perang 3 Oktober 1945 yang menjadi puncak dari pertempuran 3 daerah. Kebetulan dua tokoh ini menjadi saksi hidup pertempuran hebat itu. Mereka menceritakan sedemikian detilnya, sampai-sampai tidak terasa titik air mata mereka pun leleh. Mencair dan kemudian menganak sungai di kedua sisi pipinya yang keriput. Dari awal hingga akhir dari pertempuran itu benar-benar runtut mereka ceritakan. Saya pun tentu sangat amat tertarik dengan hal ini. Karena, ini tidak pernah saya dapatkan dalam buku-buku sejarah pada waktu sekolah dulu. Dan sebenarnya saya mulai mengetahui hal itu ketika saya dapatkan sebuah buku yang berjudul 'One Struggle, One Soul' karya seorang penulis berkebangsaan Austria. Dari sanalah saya mulai berpenasaran. Kemudian saya mulai menelusuri kembali sejarah kota kelahiran saya ini. Tak cukup hanya itu, saya pun berusaha untuk menemui Walikota saat itu dijabat oleh Samsudiat. Tapi sayang usaha saya gagal di tengah jalan. Saya hanya diperkenankan bertemu dengan bagian Humas Pemkot Pekalongan dan tanpa ba-bi-bu mereka hanya menyodorkan sebuah kutipan pidato resmi walikota tentang peringatan 3 Oktober yang saya kira tidak terlalu penting itu serta beberapa tulisan di dalam tabloid terbitan Pemkot yang hanya menyoroti ihwal peringatan 3 Oktober itu.

Tak berhenti di situ, saya lantas mencoba menelusuri sampai ke kantor arsip daerah kota Pekalongan. Mencoba mencari bukti-bukti otentik yang mungkin bisa saya gunakan sebagai bahan informasi saya. Tapi, kenyataannya tetap saja nihil. Ketika saya tanyakan pada petugas tentang arsip daerah mengenai bangunan bekas Markas Kempetai yang kini berubah fungsi menjadi Masjid Syuhada itu, mereka mengatakan tidak memiliki arsip tentang itu. Saya pun terpaksa harus kembali lagi kepada dua tokoh itu dan menanyakan hal serupa. Dan yang paling mengagetkan dari jawaban Bapak Aswantary ini, dia mengungkapkan bahwa ada sebuah kosnpirasi yang tengah dimainkan kekuasaan pada waktu itu untuk dengan sengaja menghilangkan jejak sejarah Pekalongan.

Dia menceritakan, berubahnya fungsi bangunan itu merupakan sebuah upaya Pemkot Pekalongan untuk mengubah kawasan itu sebagai kawasan bisnis yang dipelopori sebuah bank swasta. Kalaupun dibangunkan sebuah masjid yang megah di sana, katanya, hanya sebagai upaya pengelabuhan terhadap konspirasi yang dijalankan oleh Pemkot Pekalongan. Sehingga jangan heran jika kaum muda di Pekalongan tidak kenal dengan sejarah kotanya.

Saya pun terus mengorek segala informasi dari Beliau ini. Saya tanyakan kenapa konspirasi itu terus-menerus diupayakan? Dan, lebih menyakitkan lagi, hal ini terkait dengan pembongkaran bangunan bersejarah monumen penurunan bendera Jepang yang dulu berada tepat di menara masjid itu yang kini berbentuk bambu runcing. Katanya, ini karena adanya konspirasi politik yang sangat besar pengaruhnya dalam kancah nasional. Penghancuran patung monumen tersebut, didasarkan alasan yang sangat tidak masuk akal yakni hanya karena pematung yang telah membuat replika penurunan bendera tersebut adalah orang-orang Lekra. Oh, celakalah kalau memang demikian. Gumam saya dalam hati.

Dan pantas saja, ketika saya tanyakan pada beberapa warga di Pekalongan, hanya berapa gelintir dari mereka yang benar-benar mengetahui peristiwa 3 Oktober 1945. Oh, kotaku sayang, malang betul sejarahmu....Terlupakan begitu saja.

Tidak ada komentar: